Pemimpin Bicara, Skandal Bercerita – Oleh : Ahmad Mulyadi
Berbicara tentang dunia kepemimpinan, terutama dalam lingkungan kampus, tentu “integritas‟ merupakan pondasi utama yang harus dijunjung tinggi oleh seorang pemimpin. Pemimpin hendaknya menjadi teladan baik dalam etika maupun moral. Namun, bagaimana jika seorang pemimpin yang selama ini dikenal lantang dalam menyuarakan nilai-nilai tersebut justru terperosok dalam skandal memalukan dalam norma agama dan sosial? Hal ini yang terjadi pada seorang pimpinan organisasi kampus yang baru-baru ini tertangkap sedang menghabiskan waktu di sebuah kontrakan seorang wanita yang bukan mahramnya, sebuah tindakan yang bertentangan dengan citranya sebagai pengemban nilai moral dalam kehidupan sehari hari.
Ketika suara lantang perihal moral dan etika terdengar dari podium dan disuarakan daei mobil komando dalam berbagai aksi. Malah dia sendiri yang melanggar aturan tersebut, bak “menelan muntahnya sendiri”. Sang pemimpin, yang selama ini menjadi wajah kesucian nilai- nilai integritas, kini terjebak dalam situasi yang menciptakan bisik-bisik tajam di kalangan mahasiswa. Bukan hanya satu, dua jam, tetapi dua hari penuh ia di ‟grebek‟ warga, dan justru hal ini malah jauh dari sorot kamera dan pengawasan yang biasa ia nikmati.
Ironisnya, ia sering yang paling keras dalam mengingatkan orang lain untuk menjaga diri dari nilai agama dan asusila tapi malah terjerat skandal. “Integritas di atas segalanya,” katanya. Namun, realita berbicara lain. Satu persatu saksi-saksi mulai berbicara, dan nama besar yang notabenenya “Salah Satu Pimpinan Ormawa Eksekutif Tingkat Universitas” itu kini dipertanyakan. Bukan hanya tentang kemampuannya memimpin, tetapi juga kemampuannya menjaga ucapan dan tindakannya agar tetap selaras. Pepatah lama kembali terngiang- ngiang di benak para pengamat: semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menggoyang.
Yang membuat skandal ini semakin panas adalah fakta bahwa mereka yang paling lantang berteriak soal moralitas justru terperosok ke dalamnya. Apakah ini hanya kebetulan, atau cerminan dari pepatah lama, “Mereka yang terlalu sibuk menunjuk kesalahan orang lain, sering lupa melihat noda di dalam diri mereka sendiri”?
Mahasiswa kampus mulai ramai memperbincangkan inkonsistensi antara citra kepemimpinan dan tindakan sang pemimpin. Banyak yang bertanya-tanya apakah ini hanya kesalahan kecil atau bukti nyata bahwa moralitas yang sering didengungkan hanyalah topeng belaka. Narasi panjang yang sering ia gaungkan itu kini terasa hampa, ketika langkahnya sendiri tidak sejalan dengan kata-katanya. Di kampus, semua bisikan mulai berubah menjadi gemuruh, menantikan apakah sang pemimpin akan mampu mengatasi badai yang ia ciptakan sendiri.
Skandal ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di kalangan mahasiswa terhadap kepemimpinan bahkan mencemarkan nama baik Almamater. Integritas yang seharusnya menjadi landasan dalam organisasi kini dipertanyakan satu persatu, Hal inipun membuat mahasiswa ragu akan kejujuran dan komitmen
pemimpin mereka. Lantas, kemana kita harus percaya? Ketika lembaga yang merupakan perpanjangan tangan mahasiswa sudah tercemar. Dalam dunia kepemimpinan, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah kunci. Skandal ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa moralitas tidak bisa hanya dijadikan bahan retorika di depan publik, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Tepat ketika pemimpin berbicara, skandal tanpa ragu akan selalu bercerita. Kini, harapan untuk perbaikan di masa depan sangat diharapkan, agar integritas dan kejujuran kembali menjadi prioritas utama dalam kepemimpinan organisasi kampus.