Digitamagz.com – Setelah kejatuhan beberapa startup besar yang sempat mendapat suntikan dana fantastis, kini muncul tren baru yang disebut “anti-startup.” Ini adalah pendekatan bisnis yang sepenuhnya berbeda dari startup konvensional.
Jika startup biasa fokus pada pertumbuhan yang pesat melalui suntikan dana investor, anti-startup justru mengutamakan profitabilitas dan pertumbuhan organik, bahkan jika itu berarti berkembang dengan lebih lambat. Mereka memilih menjaga stabilitas keuangan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan, alih-alih mengejar ekspansi besar-besaran.
Menariknya, di tengah ketidakpastian ekonomi global, perusahaan-perusahaan anti-startup ini bukan hanya mampu bertahan, tetapi justru menunjukkan performa yang lebih unggul dalam hal keuntungan dan keberlanjutan dibandingkan beberapa startup besar. Fenomena ini bahkan mulai menarik perhatian investor yang berharap menemukan nilai lebih stabil dan risiko yang lebih rendah.
Jika kita melihat ke belakang, sekitar satu dekade yang lalu, dunia bisnis dipenuhi dengan euforia startup. Banyak anak muda, terinspirasi oleh kisah sukses perusahaan-perusahaan teknologi besar di Silicon Valley seperti Amazon, Meta, dan Google, mencoba peruntungan mereka dengan mendirikan perusahaan rintisan.
Mereka mengusung ide-ide disruptif dengan semangat tinggi dan berharap menciptakan “unicorn” – istilah bagi perusahaan dengan valuasi mencapai miliaran dolar. Hadirnya Y Combinator pada tahun 2006 sebagai program akselerator yang mendukung startup dengan modal awal dan bimbingan semakin memperkuat tren ini.
Dari sini, lahirlah nama-nama besar seperti Airbnb dan Dropbox, yang kemudian menjadi simbol kesuksesan startup generasi pertama.
Indonesia sendiri tak ketinggalan mengikuti jejak ini. Ekosistem startup berkembang pesat dengan kehadiran inkubator dan akselerator lokal yang menawarkan pelatihan dan akses ke investor. Bahkan, pemerintah mendukungnya dengan meluncurkan program “1000 Startup” pada 2015 yang bertujuan mendorong lahirnya ribuan perusahaan rintisan.
Program ini tidak hanya menawarkan insentif pajak tetapi juga kelonggaran regulasi bagi startup di Indonesia. Hasilnya, pada tahun 2021, Indonesia telah memiliki lebih dari 2.000 startup, yang jumlahnya jauh melampaui negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Namun, di balik gemerlap pertumbuhan startup ini, terdapat risiko yang besar. Banyak startup dituntut untuk tumbuh cepat dan sering kali menggelontorkan dana besar demi menarik lebih banyak pengguna.
Strategi bakar uang ini memang dianggap ampuh untuk meningkatkan jumlah pelanggan dengan cepat, tetapi pertumbuhan yang terlalu cepat sering kali berisiko jika tidak diiringi oleh pendapatan yang seimbang. Startup yang bertumbuh tanpa landasan keuangan yang kuat sering kali terjebak dalam kondisi arus kas negatif yang rentan mengalami krisis.
Fenomena ini terlihat pada kasus WeWork, yang sempat memiliki valuasi mencapai 47 miliar dolar AS sebelum akhirnya mengalami penurunan drastis karena strategi bisnis yang terlalu fokus pada pertumbuhan pengguna tanpa memperhitungkan profitabilitas jangka panjang.
Pandemi COVID-19 memperburuk kondisi ini bagi banyak startup besar seperti Airbnb dan Uber, yang mengalami penurunan performa signifikan akibat kebijakan lockdown dan pembatasan perjalanan. Di sisi lain, ada perusahaan-perusahaan kecil yang tetap mampu bertahan, bahkan tumbuh, karena mengedepankan profitabilitas dan strategi bootstrapping, yaitu membangun bisnis dengan dana sendiri tanpa mengandalkan investasi eksternal.
Mereka fokus pada pertumbuhan organik dan menjaga stabilitas keuangan, meskipun tanpa dukungan modal besar dari investor. Perusahaan-perusahaan kecil ini akhirnya dikenal dengan istilah “anti-startup.” Mereka membuktikan bahwa kesuksesan dalam bisnis tidak selalu harus mengandalkan pertumbuhan eksponensial dan valuasi tinggi yang sering kali berisiko.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena anti-startup mulai menarik perhatian investor yang lebih selektif. Investor kini lebih berhati-hati dalam memberikan pendanaan, dan cenderung memilih untuk bekerja sama dengan startup yang mampu menunjukkan profitabilitas serta stabilitas keuangan, daripada hanya mengandalkan proyeksi pertumbuhan yang belum tentu berkelanjutan.
Menurut laporan Southeast Asia Economy 2023 dari Google, Bain & Company, dan Temasek, pendanaan untuk startup di Asia Tenggara telah mengalami penurunan setelah mencapai puncaknya pada 2021. Faktor utama penurunan ini adalah kehati-hatian investor asing dalam memberikan dana, terutama untuk sektor digital yang semakin kompetitif.
Akibatnya, banyak startup digital di Indonesia kini menghadapi tantangan dalam memperoleh pendanaan. Mereka harus mulai melakukan efisiensi biaya dan menyesuaikan strategi bisnis agar tetap relevan di tengah krisis pendanaan ini.
Di tengah situasi sulit ini, perusahaan-perusahaan anti-startup semakin dilirik karena mereka menunjukkan ketahanan yang kuat tanpa ketergantungan pada pendanaan eksternal. Mereka fokus pada strategi sederhana namun efektif, yakni menjaga arus kas positif, membangun loyalitas pelanggan, dan fokus pada keuntungan.
Dengan pendekatan yang berkelanjutan serta hubungan yang kuat dengan pelanggan, anti-startup berhasil menciptakan model bisnis yang tangguh, meskipun ekonomi sedang dilanda ketidakpastian. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa stabilitas dan profitabilitas dapat menjadi strategi yang lebih bijak dalam menghadapi masa depan bisnis yang penuh tantangan.
Sumber: Youtube “Dr. Indrawan Nugroho“